Apa yang Selama Ini Salah dalam Pendidikan ?

Fenomena pendidikan saat ini semakin menjadi perhatian. Bukan karena semakin baik kualitasnya, akan tetapi sebaliknya. Banyak sekali faktor yang menyebabkan kualitas pendidikan semakin menurun, salah satunya adalah dari pelaku utama pendidikan itu sendiri. Orang tua yang selalu menuntut anaknya untuk memperoleh nilai akademik yang tinggi, guru yang mengajar sekedarnya dan anak didik kita yang selalu menjadi obyek dari semua itu.

Bagaimana cara meningkatkan prestasi akademik siswa tanpa harus menambah jam belajar dan tanpa harus disertai dengan sikap “keras” orang tua atau guru kepada anak atau siswa agar mau belajar ?

Jawaban pertanyaan tersebut, insyaAllah hanya akan tepat jika cara meningkatkan prestasi akademik siswa adalah dengan memanfaatkan berbagai sisi kekuatan yang dimiliki para siswa, bukan memanfaatkan sisi kelemahan mereka. Lalu bagaimana caranya ?

Ada tiga pelaku dalam sistem pendidikan yang memiliki pengaruh besar pada anak atau siswa. Tiga pelaku itu adalah orang tua, guru, dan siswa. Kita sebut saja segitiga pendidikan. Tentu saja masih ada pelaku-pelaku lain yang berpengaruh ke anak, misalnya kakak-adiknya dan teman-temannya di sekolah dan di rumah. Namun, kita tidak membahas pelaku yang lain dalam tulisan ini.

Saat ini kondisi segitiga pendidikan, kebanyakan terjadi seperti ini, ”Orang tua selalu benar, guru selalu benar, dan siswa sebagai obyek.” Kita bahas yang pertama, orang tua. Tidak sedikit orang tua dalam segitiga pendidikan itu berperan sebagai:

1. Sumber dana untuk pembiayaan pendidikan si anak. Sering kita dengar ucapan, “Kamu belajar yang rajin. Saya sudah capek-capek nyari uang untuk membiayai sekolah, kamu seenaknya sendiri sekolah!”

2. Bertindak sebagai “guru di rumah”, mengajari anak-anak mengerjakan pekerjaan rumah (PR).

3. Bertindak sebagai “polisi” terhadap anak, dan menempatkan anak dalam posisi sebagai obyek yang selalu disalahkan.

4. Bertindak sebagai “guru” terhadap guru. Bila prestasi akademik anak rendah, tidak sedikit orang tua yang menyalahkan guru.

Kemudian pelaku kedua dalam segitiga pendidikan adalah guru. Tidak sedikit guru dalam segitiga pendidikan itu bertindak sebagai:

1. Guru sebagai penyampai materi yang begitu padat kepada para siswa. Guru mengejar target materi dalam waktu yang terbatas. Akibatnya, guru merasa “sudah benar” jika semua materi sudah disampaikan ke siswa sesuai waktu yang ditentukan. Jadi, fokus perhatian guru adalah pada “penyelesaian target materi pelajaran yang harus disampaikan ke siswa”, bukan pada “apakah yang disampaikan itu sudah dipahami oleh para siswanya.” Tentu saja tidak semua guru seperti ini.

2. Guru juga jarang melakukan introspeksi terhadap cara mengajarnya. Sebagai ilustrasi: jika dari 30 siswa di kelas, misalnya, yang mendapat nilai 5 untuk pelajaran matematika sebanyak 10 siswa, yang mendapat nilai 7 sebanyak 15 siswa, yang mendapat nilai 9 sebanyak 3 siswa, dan yang mendapat nilai 10 sebanyak 2 siswa; maka guru tidak merasa bersalah terhadap siswa yang mendapat nilai 5 tadi. Mengapa guru tidak merasa bersalah? Karena ada siswa yang mendapat nilai 7, 9, dan 10. “Ini ‘kan berarti bukan salah guru?” Bukankah demikian cara berpikirnya? Berbeda misalnya, kalau semua siswa mendapat nilai 5, guru bisa dipersalahkan.

Tidak sedikit anak atau siswa dalam segitiga pendidikan itu diperankan sebagai obyek yang diatur, bukan sebagai subyek yang disirami, dipupuk, dan dipelihara. Anak selalu disalahkan, secara singkatnya seperti ini,

1. Anak yang selalu dalam posisi salah. Misal saja, seorang siswa mendapat nilai 5 untuk matematika. Maka tanpa disadari, yang disalahkan segitiga sistem itu adalah si siswa. Entah dikatakan karena dia sulit untuk diajari, malas, tidak mau belajar dsb.

2. Anak atau siswa sebagai obyek yang diatur secara seragam, bukan sebagai subyek yang unik yang perlu penanganan secara unik pula.

Lalu bagaimana cara menyeimbangkan sgitiga pendidikan itu? “Orang tua introspeksi, Guru introspeksi, dan siswa sebagai subyek.”

Kondisi segitiga pendidikan akan lebih baik apabila:

1. Orang tua selalu melakukan introspeksi diri. Jika misalnya prestasi akademik anak rendah, orang tua bertanya dalam diri, “Apa yang salah dari saya? Apa yang kurang dari saya? Apa saya kurang memperhatikan anak saya? Apakah cara saya menasehati anak saya keliru? Apakah cara saya mengajari PR anak saya keliru? Apakah saya kurang khusyu’ berdo’a kepada Allah swt untuk anak saya? Apakah saya terlalu menekan anak saya? dsb.

2. Demikian juga dengan guru selalu melakukan introspeksi diri, jika misalnya prestasi akademik siswa rendah. Misalnya, “Apakah cara saya memberi nasehat anak didik saya keliru? Apakah cara mengajar saya yang kurang tepat? Apakah saya terlalu bertindak keras kepada siswa saya? Apakah para siswa sudah terlalu lelah belajar, sehingga tidak bisa menyerap materi yang saya ajarkan?” dsb.

3. Anak atau siswa terutama yang masih duduk di bangku SD sebaiknya dianggap tidak pernah salah. (Tuhan saja tidak memberikan dosa kepada anak kecil, apakah kita sebagai manusia akan bertindak seenaknya menyalahkan anak kecil?). Jika anak sudah SMP dan SMA sebaiknya ketiga pelaku tadi (orang tua, guru, anak/siswa) sama-sama melakukan introspeksi, artinya tidak boleh selalu menyalahkan siswa.

Baca Juga:

Nah, tugas kita sebagai orang tua atau guru adalah menghilangkan anggapan yang tanpa sadar telah ada di kepala kita, yaitu anak/siswa yang selalu salah. Agar mudah mengubah pola pikir dan sikap kita terhadap anak/siswa, kita ubah saja secara ekstrem bahwa anak yang selalu benar. Jika ada yang salah dari anak/siswa, sebaiknya orang tua/gurulah yang melakukan introspeksi, kemudian orang tua dan guru mengajak si anak melakukan introspeksi diri.

Anak adalah subyek dari segitiga pendidikan itu. Artinya setiap anak, baik yang masih duduk di bangku SD, SMP, maupun SMA, memiliki kekuatan yang unik. Tugas orang tua dan guru adalah melihat sisi kekuatan itu kemudian mengaktualisasikannya, khususnya untuk meningkatkan prestasi akademik.


sumber gambar: sutanagus.com & anneahira.com
sumber referensi: M. Musrofi, Melesatkan Prestasi Akademik Siswa

artikel ini juga dimuat di http://www.lamperan.net/

Memacu Semangat Belajar Siswa dengan Variasi Kelompok Belajar

Kerja kelompok merupakan salah satu alternatif untuk mengaktifkan siswa dalam belajar. Dari kelompok tersebut siswa mendapat kesempatan lebih untuk menunjukkan kemampuannya dan bertukar pikiran dengan teman sekelompok. Kelompok yang dimaksud di sini adalah kelompok-kelompok kecil yang dibentuk di dalam kelas. Yang terpenting dari belajar aktif adalah kegiatan kelompok. Ada beberapa alternatif yang menarik dalam pembentukan kelompok sesuai dengan yang diinginkan siswa atau penetuan jumlah anggota sesuai dengan yang guru inginkan.

1. Puzzle 
Puzzle di sini maksudnya berupa teka-teki menyusun potongan gambar. Pembentukan kelompok dengan menggunakan puzzle akan terkesan lebih seru dan siswa bisa bersemangat dari awal pelajaran. Karena permulaan yang berkesan akan berpengaruh pada kegiatan belajar selanjutnya. Puzzle bisa beli ataupun membuat sendiri dengan memotong-motong gambar dari majalah, koran bekas, atau mencetak gambar sendiri; tempelkan potongan-potongan gambar tersebut pada kertas karton tebal; dan potonglah menjadi bentuk, ukuran dan jumlah yang dikehendaki. Pilih jumlah puzzle sesuai dengan jumlah kelompok yang hendak dibentuk. Pisahkan puzzle tersebut, acak-acaklah, dan berikan satu potongan puzzle kepada tiap satu orang siswa. Bila sudah siap membentuk kelompok, perintahkan siswa untuk menempatkan potongan-potongan gambar yang diperlukan agar terbentuk gambar utuh.
Memacu Semangat Belajar Siswa dengan Variasi Kelompok Belajar

2. Menemukan tokoh kartun atau pemeran film terkenal 
Alternatif ini sangat menarik perhatian siswa karena tentunya banyak yang suka menonton film, membaca komik, atau mendengarkan cerita dan tentunya menyukai tokoh yang berperan dalam film tersebut (misalnya, Spiderman, Batman, One Piece, Spongebob Squarepants, Tom & Jerry, Mickey Mouse, Winnie The Pooh, Hello Kitty, Marsha & The Bear, Angry Bird). Kegiatan belajar dimulai dari memberikan hal-hal yang disukai siswa dapat meningkatkan belajar aktif. Tulislah nama-nama tokoh fiksional pada kartu indeks sebanyak kelompok yang akan dibentuk. Misalnya ingin membentuk 5 kelompok, maka pilihlah 5 tokoh fiksional dan perbanyak sesuai jumlah siswa. Bagikan satu kartu indeks untuk satu siswa. Jika telah siap membentuk kelompok perintahkan siswa untuk mencari tokoh fiksional yang sama dengan kartu indeks miliknya. Jika telah menemukan anggota kelompoknya, mereka dapat mencari tempat untuk berkumpul.

3. Label nama 
Menggunakan label nama merupakan cara simple untuk membentuk kelompok. Gunakan label nama dengan bentuk atau warna yang berbeda untuk menandai pengelompokan yang berbeda.

4. Hari kelahiran
Pembentukan kelompok dengan menggunakan hari kelahiran mungkin akan menghasilkan jumlah anggota yang berbeda-beda. Namun dapat dicoba jika materi pelajaran yang akan diberikan sesuai dengan pola pembentukan kelompok ini. Dan cara ini cocok untuk kelas dalam skala besar. Misalkan kelas yang berisi 60 siswa dan hanya mau dibentuk 3 kelompok. Caranya mudah saja, siswa yang lahir pada (1) Januari, Februari, Maret, dan April; (2) Mei, Juni, Juli, dan Agustus; dan (3) September, Oktober, November, dan Desember.

5. Berhitung
Terkadang ada beberapa guru yang tidak ingin ribet dalam membentuk kelompok belajar. Mungkin ini salah satu alternatif yang dapat digunakan. Tentukan jumlah kelompok yang dikehendaki. Misalnya 5 kelompok yang ingin dibentuk, sedangkan di kelas ada 20 siswa. Jadi jika ingin terbentuk 5 kelompok saja maka angka yang disebut hanya 1 sampai 4. Perintahkan siswa untuk mulai berhitung menyebut angka 1 sampai 4. Seperti ini polanya; 1-2-3-4; 1-2-3-4; 1-2-3-4; 1-2-3-4; 1-2-3-4. Jadi yang menyebut angka 1 bergabung dengan angka 1, begitu seterusnya.

6. Rasa permen
Pembentukan kelompok tentunya tidak hanya dalam satu atau dua mata pelajaran. Karena semua pelajaran memnuntut agar siswa dapat belajar dengan aktif. Kerja kelompok dapat digunakan pada semua pelajaran. Jika terlalu sering belajar kelompok tentunya alternatif pembentukan kelompok juga harus bervariasi agar siswa tidak bosan. Nah, pembentukan kelompok juga dapat menggunakan rasa permen. Beri siswa masing-masing satu permen bebas gula dengan berbagai rasa untuk menunjukkan pengelompokan. Misal, 3 kelompok bisa terdiri dari permen jahe, permen jeruk, dan permen melon.

7. Menyebutkan nama pahlawan
Penting juga dalam pembentukan kelompok menggunakan materi pelajaran yang akan diajarkan. Semisal mengenang para pahlawan yang telah gugur. Caranya sama dengan alternatif sebelumnya. Tentukan jumlah kelompok dan nama-nama pahlawan yang akan mewakil nama untuk setiap kelompok.

Beberapa alternatif yang disebutkan di atas hanya beberapa saja. Jika para pendidik bisa lebih kreatif lagi dalam menemukan cara-cara untuk pembentukan kelompok bisa juga diterapkan.

Semakin hari kepedulian seorang guru terhadap kepahaman siswa semakin berkurang. Melakukan kegiatan belajar mengajar terkesan hanya sebuah formalitas saja, tidak peduli materi yang disampaikan bisa dimengerti siswa atau tidak. Tidak juga menekankan pada belajar aktif. Memberi kesempatan siswa dengan kerja kelompok merupakan salah satu alternatif untuk belajar aktif. Namun setelah kerja kelompok usai tidak begitu saja dibiarkan. Siswa berhak untuk bertanya, mengklarifikasi hasil kerja kelompok mereka kepada guru.  
Referensi buku: Active Learning 101 Cara Belajar Siswa Aktif – Melvin L. Silberman
sumber gambar: dewipangalila.wordpress.com
Lamperan.net

Resep untuk Mencegah Kekhawatiran yang Mungkin Terjadi dalam Belajar Aktif

Strategi pembelajaran yang diberikan untuk mendukung kegiatan belajar aktif ternyata menimbulkan banyak kekahwatiran, terutama bagi pendidik. Semua permasalahan tentunya memiliki solusi namun terkadang solusi tersebut juga menimbulkan masalah lagi. Begitu pula dengan strategi pembelajaran aktif yang diberikan kepada peserta didik. Dr. Mel Silberman, seorang Guru Besar Kajian Psikologi Pendidikan di Tempel University, telah mengemukakan 101 cara belajar aktif dan memberi tanggapan terkait kekhawatiran pendidik terhadap strategi belajar aktif, berikut tanggapannya:

1. Apakah kegiatan belajar aktif hanya merupakan kumpulan “kegembiraan dan permainan”?
Bukan, belajar aktif tidak hanya sekedar bersenang-senang, meskipun kegiatan belajar aktif memang bisa menyenangkan dan tetap dapat mendatangkan manfaat. Sesungguhnya, banyak teknik belajar aktif yang memberi siswa tantangan yang menuntut kerja keras.

2. Apakah belajar aktif sedemikian berfokus pada aktivitas itu sendiri sampai-sampai siswa tidak memahami apa yang mereka pelajari?
Persoalan yang sesungguhnya memang hal tersebut. Banyak nilai-guna pada pembelajaran aktif yang berasal dari tindakan memikirkan kegiatan ketika usai dan membahas maknanya bersama teman sekelas. Ada baiknya juga memberikan pelajaran singkat setelah berlangsungnya kegiatan belajar aktif untuk menghubungkan apa yang dialami siswa dengan konsep yang akan diberikan.

3. Apakah belajar aktif menyita banyak waktu? Bagaimana kita dapat memberikan pelajaran dengan menggunakan metode belajar aktif?
Tidak diragukan bahwa kegiatan belajar aktif menyita lebih banyak waktu ketimbang pengajaran langsung, namun ada banyak cara untuk menghindari terbuangnya waktu dengan sia-sia. Lebih lanjut, sekalipun sebuah pengajaran dapat menyampaikan banyak pelajaran, kita perlu mempertanyakan seberapa banyak siswa yang benar-benar mempelajari. Pengajaran memiliki kecondongan untuk menyampaikan bagian tepiannya saja dengan menyajikan apa saja yang ada di seputar mata pelajaran. Lagi pula, kita hanya melakukan pengajaran satu arah, karena itu kita sebaiknya memastikan telah menguasai apa yang kita ajarkan. Namun, kelas yang kegiatan belajarnya bersifat aktif memiliki kurikulum yang kurang padat dan tujuan yang terbatas. Guru yang memandu kelas ini memahami bahwa siswa akan lebih banyak lupanya ketimbang ingatnya. Ketika muatan pelajarannya ditetapkan dalam tingkatan sedang, guru memiliki waktu untuk mengadakan kegiatan yang memperkenalkan, menyajikan, menerapkan, dan menguraikan apa yang telah dipelajari.

Baca juga: Cara Ampuh untuk Mengaktifkan Keterlibatan Siswa Sejak Awal Pembelajaran

4. Dapatkah metode belajar aktif menghangatkan informasi yang hambar dan tidak menarik? Tentu saja! Ketika mata pelajaran tidak menarik dan disajikan dengan belajar aktif yang menyenangkan pastinya dapat memotivasi siswa untuk menguasai pelajaran yang menjenuhkan sekalipun.

5. Kapan kita menggunakan kelompok dalam belajar aktif, bagaimana kita menghindari agar kelompok-kelompok itu tidak menyia-nyiakan waktu dan tidak produktif? 
Resep untuk Kekhawatiran yang Mungkin Terjadi dalam Belajar AktifKelompok bisa menjadi tidak produktif manakala mereka hanya memiliki sedikit rasa kebersamaan pada permulaan pelajaran dan ketika kerja kelompok tidak ditata dengan baik dari awal. Siswa menjadi bingung dengan apa yang harus dilakukan, kurang bisa menata diri, dan mudah teralihkan perhatiannya dari tugas. Atau boleh jadi mereka mengerjakan secepat mungkin, dan hanya memahami bagian luarnya saja, bukannya memahami materinya secara lebih mendalam. Ada beberapa metode untuk mengerjakan cara belajar dalam kelompok, misalnya memberi tugas kepada setiap anggota kelompok, menetapkan aturan dasar kelompok, mempraktikkan keterampilan kelompok, dan lain sebagainya.
6. Dapatkah kita “mengelompokkan siswa untuk seterusnya” dengan menggunakan kegiatan belajar aktif? 
Tentu saja. Sebagian guru memanfaatkan kelompok secara berlebihan. Mereka tidak memberi siswa peluang yang memadai untuk mempelajari sesuatu secara perseorangan, mereka kurang mampu mengarahkan siswa untuk mengajarkan dan berdiskusi. Kuncinya adalah keberagaman. Keragaman cara belajar merupakan resep pengajaran yang baik.

7. Saya tertarik dengan belajar aktif, namun saya tidak yakin apakah anak didik saya juga tertarik? 
Semakin kurang terbiasanya mereka dengan belajar aktif, semakin tidak mudahlah mereka pada awalnya. Mereka mungkin terbiasa memperhatikan guru melakukan semua pekerjaannya, duduk kembali, dan merasa yakin bahwa mereka telah mempelajarinya dan akan mengingatnya. Sebagian siswa akan mengeluh bahwa kegiatan belajar aktif menyita banya waktu. Mereka mungkin lebih menyukai penyampaian informasi yang bertata baik dan efisien, atau mereka boleh jadi khawatir dengan cara belajar melalui penemuan dan eksplorasi sendiri. Dalam jangka panjang, mereka akan mendapatkan manfaat dari belajar aktif seperti halnya siswa yang lain. Dalam jangka pendek, mereka tidak akan terlalu khawatir jika guru memperkenalkan metode belajar aktif secara bertahap. Jika tidak secara bertahap maka siswa akan memperlihatkan keengganan.

Dari sekian banyak kekhawatiran pendidik mengenai strategi belajar aktif, akan lebih mudah menemukan solusi dari kekhawatiran itu dengan sering menggunakan strategi belajar aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Jadi, daripada hanya mengkhawatirkan yang belum tentu lebih baik sebagai pendidik untuk menerapkan strategi belajar aktif sebagai upaya memotivasi belajar siswa.
Referensi buku: Active Learning 101 Cara Belajar Siswa Aktif – Melvin L. Silberman
sumber gambar: rezaprasetyo08.wordpress.com

lamperan.net

Bagaimana Cara Mengaktifkan Siswa dari Awal Pelajaran ?

Bagaimana Cara Mengaktifkan Siswa dari Awal Pelajaran ?
Kegiatan belajar mengajar pada semua mata pelajaran membutuhkan pembukaan yang menarik perhatian siswa. Belajar menyenangkan jika siswa bisa aktif dari awal. Jika tidak demikian maka kemungkinan besar kepasifan pada siswa yang permanen hingga jam pelajaran usai. Susunlah sebuah kegiatan yang akan membantu siswa dalam berkomunikasi dengan siswa lainnya, atau sesuatu yang menumbuhkan minat belajar siswa sejak pelajaran dimulai. Anggaplah hal ini sebagai hidangan pembuka sebelum menu utama. Buatlah hidangan pembuka yang dapat membuat siswa berselera untuk menikmati hidangan selanjutnya. Guru pada umumnya hanya akan membuka pelajaran dengan membuka dengan salam, memeriksa kehadiran siswa, dan bertanya materi pelajaran yang sebelumnya hanya untuk formalitas saja. Nah, tambahkanlah setidaknya satu latihan pembuka yang bisa mempunyai banyak manfaat

Cara belajar siswa aktif sangat dipengaruhi di awal pelajaran saat pembukaan. Kegiatan belajar aktif di awal memiliki tiga tujuan yang perlu dicapai. Pembelajaran yang hanya berlangsung sebentar, semisal satu jam pelajaran janganlah dianggap remeh. Ketiga tujuan tersebut yaitu:

1. Pembentukan tim
Membantu siswa untuk lebih mengenal lebih dekat dengan teman belajar dan dapat menciptakan semangat kerja sama. Karena suatu masalah, dalam hal ini masalah belajar, akan terselesaikan dengan mudah dan cepat jika dikerjakan secara bersama.

2. Penilaian sederhana.
Dengan mengetahui kepribadian, sikap, seberapa dalam pengetahuan dan seberapa jauh pengalaman yag dimiliki siswa akan sangat membantu dalam proses pembelajaran.

3. Keterlibatan belajar langsung.
Ciptakan minat awal terhadap pelajaran.

Pembelajaran aktif akan tercapai dengan patokan ketiga tujuan di atas. Pengajaran yang dilakukan atas dasar tiga tujuan tersebut, dapat menciptakan lingkungan belajar yang melibatkan siswa, meningkatkan kemauan mereka untuk ambil bagian dalam kegiatan belajar aktif, dan menciptakan norma kelas yang positif.

Pembelajaran aktif perlu pembukaan yang mengaktifkan siswa pula. Dalam pemilihan strategi pembuka untuk digunakan dalam pengajaran, ingatlah beberapa pertimbangan berikut:

1. Akibat dari strategi yang diberikan.
Perlu guru ketahui apakah siswa tersebut akan terbuka dengan gagasan dan aktivitas baru. Belajar aktif dan menyenangkan yang akan guru berikan apakah menyenangkan juga bagi siswa atau malah siswa enggan dan keberatan. Mengawali pelajaran dengan strategi yang mengungkap kurangnya pengetahuan dan keterampilan siswa tentunya bisa beresiko. Belajar siswa bisa jadi terganggu dengan ketidak siapan mereka untuk mengungkapkan kelemahan mereka. Proses belajar tentunya juga akan terganggu dengan berkurangnya minat belajar akibat ketidaksiapan mereka. Sebagai gantinya, sebuah strategi yang meminta yang meminta partisispan untuk berkomentar tentang sesuatu yang tidak asing lagi bagi mereka justru akan memudahkan keterlibatan mereka di dalam kelas.

2. Ketepatan dengan kepribadian siswa.
Metode mengajar berbasis permainan yang menyenangkan belum tentu akan diterima oleh siswa remaja, berbeda dengan siswa usia sekolah dasar yang akan semangat belajar dengan belajar sambil bermain. Siswa perempuan mungkin lebih sensitif jika dibandingkan dengan siswa laki-laki. Karena pembelajaran aktif pada aktivitas pembuka yang guru ciptakan untuk semua siswa di dalam kelas maka perlu menciptakan pula lingkungan untuk semua siswa. Pertimbangkanlah dengan cermat dalam memberikan metode pengajaran, dan rencanakan pembelajaran dengan sungguh-sungguh.

3. Relevansi terhadap mata pelajaran.
Variasikan bahan pembuka percakapan agar memiliki relevansi dengan materi yang hendak guru ajarakan. Semakin sesuai percakapan pembukaan dengan materi pelajaran maka semakin mudahlah peralihan yang hendak guru lakukan terhadap aktivitas belajar utama yang telah disiapkan.

Pertimbangan-pertimabangan di atas memiliki relevansi untuk setiap aspek dari pelajaran, terutama dalam tahap-tahap pembukaan. Pembukaan yang berhasil akan memuluskan jalan berhasilnya pelajaran. Demikian pula, pembukaan yang dirasa mengancam siswa, konyol, atau tidak relevan dengan pelajaran, dapat menciptakan situasi yang kaku dan sulit diatasi.

Baca juga : 
Menciptakan pembelajaran aktif dengan membuat siswa aktif sejak awal guru mengucap salam ternyata tidak bisa dianggap remeh. Hanya membuat aktivitas pembukaan saja sepertinya benar-benar menyita pikiran seorang guru. Sungguh orang-orang yang tidak memiliki hati nurani jika meremehkan pahlawan tanpa tanda jasa ini. Karena banyak orang yang menilai keberhasilan guru dalam mengajar ketika siswa mendapatkan nilai tinggi. Padahal pengetahuan tidak dinilai dari tingginya nilai dalam mengerjakan soal-soal ujian. 
lamperan.net
sumber gambar: quantumppkn.worpress.com
Referensi buku: Active Learning 101 Cara Belajar Siswa Aktif – Melvin L. Silberman

Siapakah sebenarnya “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” ?

Siapakah sebenarnya “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” ?
Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku 
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku 
Sebagai prasasti terima kasihku 
Tuk pengabdianmu 
Engkau sabagai pelita dalam kegelapan 
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan 
Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa

Siapa yang tidak tahu lagu hymne guru di atas. Semua orang pasti tahu “pahlawan tanpa tanda jasa” yang dimaksud adalah guru. Setiap tanggal 25 November diperingati sebagai hari guru di Indonesia. Guru penunjang penting dalam dunia pendidikan dan merupakan motor penggerak dari proses pembelajaran. Tapi yakinkah kita bahwa keberadaannya dihargai oleh murid dan kerja kerasnya diapresiasi oleh pemerintah Indonesia ?

Jika guru merupakan sosok yang penting dalam dunia pendidikan, yang katanya sebagai pembentuk generasi muda penerus bangsa, tapi mengapa di Indonesia keberadannya sangat kurang dihargai. Banyak guru berjuang untuk memberikan pendidikan kepada anak bangsa tanpa upah. Menjadi relawan di pelosok negeri. Mengacu pada negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia, gaji seorang guru berada pada peringkat atas. Bahkan di Inggris, gaji guru lebih tinggi dibandingkan Perdana Menteri sekalipun. Di Finlandia, proses seleksi untuk menjadi guru harus melewati beberapa tes yang ketat, sejajar dengan memasuki fakultas hukum maupun kedokteran. Guru juga diberi kebebasan dalam menentukan kurikulum, text-book, hingga metode pengajaran dan evaluasi. Negara-negara maju berani investasi besar-besaran untuk pendidikan. Merekapun membiayai pendidikan guru hingga mendapat gelar master.

Nasib Bangsa Pemurah

Nasib Bangsa Pemurah
Ada satu parodi mengisahkan Indonesia sebenarnya negara terkaya di dunia.

Roda kehidupan dunia akan terganggu bila negara kita tidak bermurah hati
kepadanya. Tuhan sepertinya menciptakan Indonesia untuk dunia. Negeri ini ibarat bocoran surga karena hampir separuh kekayaan dunia ada di negara kita. Coba hitung jenis flora dan fauna kita, pasti mengejutkan karena apa saja ada. Kita punya pantai terpanjang di dunia, di dalamnya terhampar kekayaan laut yang luar biasa, sangat lengkap biodiversitasnya.

Di darat, ada puluhan gunung api yang menyuburkan. Cari jenis tambang apa saja ada, seperti minyak, emas, uranium, perak, nikel, batu bara, bauksit. Hutan kita juga sangat luas dan lengkap, mau cari flora atau fauna untuk tanaman obat, industri, atau kebutuhan perdagangan lain, semua ada. Kita punya sekitar 17 ribu pulau, bahkan tiga di antaranya terbesar di dunia. Kekayaan sosial budaya kita tidak tertandingi.

Jangan Abaikan Anak-anak yang “Berbeda”

Nasib semua orang memang berbeda-beda. Sungguh beruntung orang tua yang memiliki anak yang sehat, aktif, cerdas dan selalu ceria. Namun tidak sedikit pula yang mempunyai anak berkebutuhan khusus. Penanganan pertama yang paling utama adalah sebagai orang tua baik tentunya menerima kenyataan dan ikhlas. Anak berkebutuhan khusus yang dimaksud di sini adalah anak yang tumbuh kembangnya abnormal. Disebut abnormal karena memang memiliki beberapa perbedaan dari anak normal pada umumnya.  Pertama, anaknya dalam perkembangannya memiliki distress. Kedua, kondisi ini menganggu anak dalam proses belajar, bersosialisasi dan bermain. Ketiga, anak beresiko untuk memiliki gangguan yang lebih berat dan masalah yang lebih setiap harinya. Menurut pendapat seorang psikolog, jika ketiga hal tersebut dimiliki oleh anak maka anak tersebut dapat dikatakan abnormal. Dengan begitu anak abnormal juga memiliki kebutuhan yang berbeda dari anak lainnya. Kebutuhan khusus dalam pola pengasuhannya, pendidikan, belajar dan lain sebagainya. Nah yang paling utama adalah pada orang tuanya, mereka harus bisa menerima bahwa anaknya berbeda dengan yang lain dan tentunya memiliki perbedaan pula dalam pola asuhnya, pendidikan serta cara belajarnya. Jika memang belum bisa menerima maka dianjurkan untuk konseling dulu pada pakarnya. Konseling keluarga yang paling utama. Manusiawi jika orang tua perasaannya hancur karena buah hatinya termasuk anak yang berkebutuhan khusus. Mau tidak mau harus menerima kenyataan itu, karena lebih cepet penerimaan maka lebih cepat pula untuk penanganannya. Pihak keluarga lainnya pun harus melakukan hal yang sama bukan hanya orang tua saja, kakak, adek, orang-orang di sekitarnya. Langkah selanjutnya adalah carilah pakar yang sesuai dengan kebutuhan sang anak. Keluarga juga harus bersikap terbuka dan lebih banyak mencari tau tentang anak berkebutuhan khusus, semisal browsing internet atau bertanya pada yang lebih tau. Datanglah ke psikolog untuk menindak lanjuti kebutuhan khusus yang lebih baik. Ikutilah saran-saran dari pakar psikolog. Semisal dalam pemilihan sekolah tentunya tidak sembarangan. Pemilihan sekolah yang tepat untuk anak yang berkebutuhan khusus ini dilakukan demi anak agar kemampuannya bisa berkembang secara optimal dan mandiri. Kemudian jangan lupa bahwa anak berkebutuhan khusus ini tidak mampu bersosialisasi dengan baik, tapi biasakan anak untuk bertemu dengan orang lain. Langkah demi langkah yang dilakukan mungkin dirasa melelahkan jika tidak berjalan lancar sesuai yang direncanakan. Tetapi hal ini merupakan cara bersyukur atas anugerah yang diberikan Allah kepada kita. Lihatlah ke bawah untuk bersyukur dan lihatlah ke atas agar termotivasi. Karena Allah tidak akan memberikan cobaan di atas kemampuan kita. Jadi, bagi keluarga yang memiliki anggota keluarga berkebutuhan khusus, bantulah mereka untuk menjalani kehidupan yang normal sebagaimana mestinya. Kurang di mata manusia belum tentu kurang juga di mata Allah.
Nasib semua orang memang berbeda-beda. Sungguh beruntung orang tua yang memiliki anak yang sehat, aktif, cerdas dan selalu ceria. Namun tidak sedikit pula yang mempunyai anak berkebutuhan khusus. Penanganan pertama yang paling utama adalah sebagai orang tua baik tentunya menerima kenyataan dan ikhlas. Anak berkebutuhan khusus yang dimaksud di sini adalah anak yang tumbuh kembangnya abnormal. Disebut abnormal karena memang memiliki beberapa perbedaan dari anak normal pada umumnya.

Pertama, anaknya dalam perkembangannya memiliki distress. Kedua, kondisi ini menganggu anak dalam proses belajar, bersosialisasi dan bermain. Ketiga, anak beresiko untuk memiliki gangguan yang lebih berat dan masalah yang lebih setiap harinya. Menurut pendapat seorang psikolog, jika ketiga hal tersebut dimiliki oleh anak maka anak tersebut dapat dikatakan abnormal. Dengan begitu anak abnormal juga memiliki kebutuhan yang berbeda dari anak lainnya. Kebutuhan khusus dalam pola pengasuhannya, pendidikan, belajar dan lain sebagainya. Nah yang paling utama adalah pada orang tuanya, mereka harus bisa menerima bahwa anaknya berbeda dengan yang lain dan tentunya memiliki perbedaan pula dalam pola asuhnya, pendidikan serta cara belajarnya. Jika memang belum bisa menerima maka dianjurkan untuk konseling dulu pada pakarnya.

Semua Orang Berhak Berpendidikan

Pendidikan Gratis untuk Bangsa Indonesia
Dalam amanat UUD 1945 menyebutkan jika pemerintah wajib membiayai pendidikan dasar dari SD hingga SMP. Di negara kita wajib belajar sembilan tahun dalam pelaksanaannya belum sepenuhnya gratis. Istilahnya saja yang gratis tapi tetap bayar. Namun saat kewajiban pendidikan dasar sembilan tahun belum sepenuhnya terealisasi tuntas, pemerintah sudah menjanjikan pendidikan gratis hingga SMA dan sederajat, bagaimana mungkin? Jika negara benar-benar menggratiskan semua biaya sekoah dasar, maka orang tua akan punya tanggung jawab menyekolahkan anaknya hingga level perguruan tinggi. Ibaratnya dari kecil hingga SMP diberi oleh negara, maka orang tua berkewajiban menyekolahkan anaknya di level tinggi.

Berbicara mengenai pendidikan gratis, dilihat dari perkembangnnya banyak lembaga yang telah membuat program untuk pendidikan gratis, seperti LSM dan sejenisnya. Pendidikan gratis yang diberikan oleh pemerintah dirasa masih kurang maksimal. Karena memang biaya pendidikan diberikan hanya sampai dengan SMP sedangkan SMA tidak, padahal SMA merupakan tombak utama dan usia yang mapan untuk mencari pekerjaan serta penghasil devisa negara. Pendidikan gratis dapat meningkatkan mutu pendidikan dan penurunan angka anak putus sekolah. Sekolah gratis bagi orang tua dapat meringankan beban pikiran, tidak ada lagi cerita jika belum membayar iuran sekolah tidak dapat mengikuti ujian. Karena biaya pendidikan yang memberatkan banyak yang putus sekolah dan memilih bekerja apa saja yang penting mendapatkan uang.

Bagaimana Islam memandang Evolusi ???

Bagaimana Islam memandang Evolusi ???
Menurut wikipedia: Evolusi (dalam kajian biologi) berarti perubahan pada sifat-sifat terwariskan suatu populasi organisme dari satu generasi ke generasi berikutnya. Perubahan-perubahan ini disebabkan oleh kombinasi tiga proses utama: variasi, reproduksi, dan seleksi. Sifat-sifat yang menjadi dasar evolusi ini dibawa oleh gen yang diwariskan kepada keturunan suatu makhluk hidup dan menjadi bervariasi dalam suatu populasi. Ketika organisme bereproduksi, keturunannya akan mempunyai sifat-sifat yang baru. Sifat baru dapat diperoleh dari perubahan gen akibat mutasi ataupun transfer gen antar populasi dan antar spesies. Pada spesies yang bereproduksi secara seksual, kombinasi gen yang baru juga dihasilkan oleh rekombinasi genetika, yang dapat meningkatkan variasi antara organisme. Evolusi terjadi ketika perbedaan-perbedaan terwariskan ini menjadi lebih umum atau langka dalam suatu populasi.

Pandangan Islam tentang evolusi beragam, mulai dari evolusi teistik hingga kreasionisme. Umat Islam meyakini Tuhan sebagai pencipta makhluk hidup, seperti dinyatakan dalam Al-Quran. Sepanjang sejarah beberapa pemikir Muslim telah mengajukan dan menerima unsur-unsur teori evolusi, sambil tetap memercayai kekuasaan Tuhan dalam prosesnya. Pada masa modern, beberapa Muslim menolak evolusi, dan pengajaran evolusi dilarang di beberapa negara. Pertentangan utama antara Islam dan evolusi adalah Adam dan Hawa sebagai leluhur manusia, sebuah konsep yang bertentangan dengan antropologi biologis modern.

Kompetensi Pembentuk Pemuda Generasi Bangsa --> Guru

Kompetensi Pembentuk Pemuda Generasi Bangsa --> Guru
Secara psikologis, kepribadian lebih diposisikan pada perbedaan individual yaitu karakteristik yang membedakan indivdu dengan individu lain. Kepribadian merupakan pola perilaku dan cara berfikir yang khas, yang menentukan penyesuaian diri seseorang terhadap lingkungan yang mengisyaratkan adanya perilaku yang konsisten yang diakukan oleh individu dalam berbagai situasi sebagai hasil interaksi antara karakteristik kepribadian seseorang dengan kondisi social dan fisik material lingkungannya yang mungkin perilaku tersebut dikendalikan secara internal atau secara eksternal.[1]

Adapun macam-macam kompetensi kepribadain yang harus dimiliki oleh seorang guru adalah sebagai berikut:

1. Kepribadian yang Mantap dan Stabil

Kepribadian yang mantap dari sosok seorang guru akan memberikan teladan yang baik terhadap anak didik maupun masyarakatnya, sehingga guru akan tampil sebagai sosok yang patut “digugu” (ditaati nasehat/ucapan/perintahnya) dan “ditiru” (dicontoh sikap dan perilakunya).

2. Kepribadian yang Dewasa

Sebagai seorang guru, kita harus memiliki kepribadian yang dewasa karena terkadang banyak masalah pendidikan yang muncul yang disebabkan oleh kurang dewasanya seorang guru. Kondisi kepribadian yang demikian sering membuat guru melakukan tindakan – tindakan yang tidak profesional, tidak terpuji, bahkan tindakan– tindakan tidak senonoh yang merusak citra dan martabat guru.

3. Kepribadian yang Arif

Sebagai seorang guru kita harus memiliki pribadi yang disiplin dan arif. Hal ini penting, karena masih sering kita melihat dan mendengar peserta didik yang perilakunya tidak sesuai bahkan bertentangan dengan sikap moral yang baik. Oleh karena itu peserta didik harus belajar disiplin, dan gurulah yang harus memulainya. Dalam menanamkan disiplin, guru bertanggung jawab mengarahkan, berbuat baik, menjadi contoh sabar dan penuh pengertian. Mendisiplinkan peserta didik harus dilakukan dengan rasa kasih sayang dan tugas guru dalam pembelajaran tidak terbatas pada penyampaian materi, tetapi guru harus dapat membentuk kompetensi dan pribadi peserta didik.

Kepala Suku Pendidikan --> Kepala Sekolah

Kepala Suku Pendidikan --> Kepala Sekolah
Kepala sekolah merupakan motor penggerak bagi sumber daya sekolah terutama guru dan karyawan sekolah. Begitu besarnya peranan kepala sekolah dalam proses pencapaian tujuan pendidikan, sehingga dapat dikatakan bahwa sukses tidaknya suatu sekolah sangat ditentukan oleh kualitas kepala sekolah terutama dalam kemampuannya memberdayakan guru dan karyawan ke arah suasana kerja yang kondusif.
Kepala sekolah memiliki peran dan tanggung jawab sebagai manajer kantor yaitu diantaranya mengadakan prediksi masa depan sekolah, misalnya tentang kualitas yang diinginkan masyarakat, melakukan inovasi dengan mengambil inisiatif dan kegiatan-kegiatan yang kreatif untuk kemajuan sekolah, menciptakan strategi atau kebijakan untuk menyukseskan pikiran-pikiran yang inovatif tersebut, menyusun perencanaan, baik perencanaan strategis maupun perencanaan operasional, menemukan sumber-sumber pendidikan dan menyediakan fasilitas pendidikan, melakukan pengendalian atau kontrol terhadap pelaksanaan pendidikan dan hasilnya.

Kepala sekolah yang mampu memerankan dirinya secara efektif dan efisien dapat memberikan kontribusi yang cukup besar bagi terwujudnya kualitas atau mutu sekolah. Oleh karena itu, seseorang yang akan diangkat menjadi kepala sekolah wajib memenuhi Standar Kualifikasi dan Standar Kompetensi Kepala Sekolah sebagaimana tercantum pada lampiran peraturan menteri. Peraturan menteri tersebut merupakan suatu kemajuan positif dalam upaya mencari dan menetapkan figur pengelola sekolah yang bermutu. Namun dalam rangka profesionalisasi jabatan kepala sekolah menuju terwujudnya kepala sekolah yang mampu mengemban dan mengembangkan tugas dan fungsinya terlihat masih belum sepenuhnya akan dapat diwujudkan.

Soewadji Lazaruth menjelaskan 3 fungsi kepala sekolah, yaitu sebagai administrator pendidikan, supervisor pendidikan, dan pemimpin pendidikan. Kepala sekolah berfungsi sebagai administrator pendidikan berarti untuk meningkatkan mutu sekolahnya, seorang kepala sekolah dapat memperbaiki dan mengembangkan fasilitas sekolahnya misalnya gedung, perlengkapan atau peralatan dan lain-lain yang tercakup dalam bidang administrasi pendidikan. Lalu jika kepala sekolah berfungsi sebagai supervisor pendidikan berarti usaha peningkatan mutu dapat pula dilakukan dengan cara peningkatan mutu guru-guru dan seluruh staf sekolah, misalnya melalui rapat-rapat, observasi kelas, perpustakaan dan lain sebagainya. Dan kepala sekolah berfungsi sebagai pemimpin pendidikan berarti peningkatan mutu akan berjalan dengan baik apabila guru bersifat terbuka, kreatif dan memiliki semangat kerja yang tinggi. Suasana yang demikian ditentukan oleh bentuk dan sifat kepemimpinan yang dilakukan kepala sekolah.[1]

Menurut E. Mulyasa, kepala sekolah mempunyai 7 fungsi utama, yaitu:[2]

Mendidik Anak dengan Tuntunan Rasulullah SAW

Anak keturunan yang menyenangkan hati adalah merupakan sumber dari kemuliaan, dan hal tersebut harus diusahakan dengan pendidikan. Banyak peringatan Nabi Muhammad SAW agar anak diberi bimbingan dan pendidikan agar ia dapat tumbuh dan berkembang, baik jasmani maupun rohani. Untuk pendidikan jasmani misalnya, beliau memerintahkan agar anak-anak diajar memanah dan naik kuda serta berenang. Dalam hal pendidikan rohani misalnya, diperkenalkan tentang Tuhan, dilatih sholat pada umur 7 tahun dan melaksanakannya dengan baik pada umur 10 tahun, dibiasakan dengan adab sopan santun terhadap orang tua (ibu dan bapak) serta orang-orang lainnya, dan sebagainya.

Adapun garis-garis besar materi pendidikan anak dalam islam yang dicontohkan oleh Nabi SAW adalah sebagaimana yang disyaratkan oleh Allah dalam Q.S. Luqman ayat 13-19 sebagai berikut;
  1. Pendidikan Tauhid, yaitu menanamkan keimanan kepada Allah sebagai Tuhan (sesembahan) Yang Maha Esa. Allah adalah satu-satunya yang harus disembah, dan jika menyembah selain Allah itu namanya syirik.
  2. Pendidikan Sholat. Yaitu yang diutamakan pada mukallaf. Mukallaf yaitu anak baru wajib melaksanakan sholat kalau sudah aqil baligh.
  3. Pendidikan adab sopan santun dalam keluarga. Nabi telah menekankan agar anak dididik untuk membangun hubungan baik dan harmonisantar keluarga. Seorang anak yang harus sopan santun terhadap orang tua, dan anggota keluarga lainnya.
  4. Pendidikan adab sopan santun dalam bermasyarakat (kehidupan social). Dalam kehidupan bermasyarakat harus dikenalkan dan dilatihkan kepada anak, terutama menjelang mereka dewasa, budi pekerti dan adab sopan santun dalam pergaulan, misalnya tidak boleh sombong pada orang lain, sopan dalam berjalan, ramah pada semua orang dan sebagainya.
  5. Pendidikan kepribadian. Kepada anak ditanamkan dan dibiasakan dengan sifat-sifat kepribadian yang kuat, yaitu jiwa “amar ma’ruf nahi munkar”. Sehingga kepribadian tersebut akan berkembang sedemikian rupa baik akal, pikiran, perasaan, kemauan, keterampilan dan segenap potensi yang ada padanya, dapat membantu mereka dalam menempuh hidupnya dengan penuh tanggung jawab.
Pendidikan anak bukanlah hal yang harus dianggap enteng. Karena pendidikan dari usia dini akan menentukan kepribadian ketika dewasa nanti. Biasakanlah hal-hal yang baik dari kecil seperti yang diajarkan oleh Rasulullah.
sumber gambar: www.dakwatuna.com

Tujuh Jurus untuk Mengatasi Siswa Pembuat Onar di Kelas

Sebagai guru yang baik tentunya menyadari bahwa siswa memiliki beragam cara belajar. Sebagian siswa bisa belajar dengan baik hanya dengan melihat teman melakukannya. Ada juga siswa yang menyukai cara belajar dengan mendengarkan guru menyajikan materi kemudian mencatatnya. Siswa yang menyukai cara belajar ini mengandalkan kemampuan untuk mendengar dan mengingat. Nah, di samping mereka yang mempunyai gaya belajar tersebut, tentunya ada beberapa siswa yang mudah jenuh dengan kegiatan belajar di dalam kelas. Pelampiasan yang mereka lakukan biasanya siswa berperilaku menyimpang. Bermain sendiri, lari-lari di dalam kelas, lempar-lemparan bola kertas, melakukan aktivitas yang dapat mengganggu konsentrasi belajar, dan terkadang siswa berbuat demikian ingin mencari perhatian lebih. Berikut tujuh cara yang dapat dilakukan untuk mengatasinya.

Tujuh Jurus untuk Mengatasi Siswa Pembuat Onar di Kelas

1. Buatlah tanda secara nonverbal. Lakukan tatap mata dengan siswa atau dengan mendekat kepada mereka ketika mereka asyik ngobrol, mengantuk, atau menghindar dari partisipasi. Letakkan jari di depan mulut (tanpa harus memelototi) untuk memberi tanda agar siswa berhenti ngobrol. Buat tanda “T” dengan jemari untuk menghentikan perilaku yang tidak dikehendaki.

2. Dengarkan secara aktif. Ketika siswa memonopoli diskusi, menyimpang dari persoalan, atau berdebat dengan guru, lakukan interupsi dan menyebutkan intisari dari pendapat mereka kemudian mintalah siswa lain untuk berbicara.

3. Usahakan agar siswa tidak ada yang mendominasi. Ketika siswa yang sama selalu berbicara banyak di kelas sedangkan yang lain diam, ajukan pertanyaan yang berkaitan dengan pelajaran. Cermati siapa saja yang angkat tangan, dan tunjuk dua atau lebih untuk menjawabnya. Pastikan yang ditunjuk bukan siswa yang selalu banyak bicara.

4. Gunakan humor segar. Salah satu cara untuk mengatasi perilaku yang sulit diatasi adalah dengan memberikan humor segar kepada siswa. Namun, hati-hatilah jangan sampai menyinggung perasaan.

5. Jalinlah hubungan pada tingkat personal. Terlepas dari apakah siswa yang bermasalah itu bersikap memusuhi atau minder, pastikan bahwa melakukan pendekatan kepada mereka sewaktu istirahat. Kecil kemungkinan bahwa siswa itu akan terus menyulitkan atau menjaga jarak dengan guru jika diperlihatkan sikap penuh perhatian kepada mereka.

6. Abaikan saja perilaku yang tidak begitu negatif atau mengganggu. Jangan kelewat mempersoalkan perilaku yang tidak begitu mengganggu. Tetap jalankan pelajaran dan pastikan apakah perilaku itu tidak semakin parah.

7. Rembuklah perilaku yang sangat negatif secara empat mata. Guru mesti menghentikan perilaku yang sekiranya mengganggu jalannya proses belajar mengajar. Perintahkan dengan tegas, secara empat mata, agar siswa yang bermasalah itu mengubah perilakunya yang merugikan. Jika seluruh kelas terlibat, hentikan pelajaran dan terangkan dengan jelas apa yang perlu dilakukan oleh siswa agar pelajaran berlangsung secara efektif.

Tidak menutup kemungkinan ketika seorang guru sedang berusaha menyelesaikan masalah yang satu terkadang malah akan memunculkan masalah baru. Namun akan lebih parahnya lagi jika tetap membiarkan masalah terutama pada siswa. Kembali pada pribadi masing-masing seorang guru. Janganlah terlalu memasukkan hati persoalan yang dihadapi. Ingatlah bahwa banyak sekali perilaku bermasalah siswa yang tidak ada kaitannya dengan guru. Tetapi siswa berada dalam kelas sasaran dari perilaku buruknya jika tidak teman-temannya pastilah gurunya. Pada intinya, siswa berulah bukan berarti harus diberi hukuman yang berat dengan alasan untuk efek jera.


Referensi buku: Active Learning 101 Cara Belajar Siswa Aktif – Melvin L. Silberman
sumber gambar: negeripaomandua.blogspot.com 
lamperan.net

Teknologi dan Dunia Anak

Teknologi dan Dunia Anak
Dunia anak sebelum mengenal teknologi, internet, game dan sejenisnya lebih terasa kebersamaannya dengan berbagai permainan yang mereka mainkan. Petak umpet, engkling, betengan dan sebagainya. Mungkin tidak semua beranggapan sama dengan pernyataan tersebut, namun dulu anak-anak bermain tidak harus ketat dengan pengawasan orang tua, berbeda dengan masa kini yang pergaulan semakin tidak karuan dan memprihatinkan. Bagaimana tidak? Anak-anak sekarang sudah menonton film dewasa, menyanyikan lagu-lagu dewasa, bergaul dengan sembarangan orang, dan itu tanpa sepengetahuan orang tua. Lebih mirisnya lagi meskipun orang tua mengetahui anaknya berbuat demikian terkadang malah membiarkannya bahkan mengizinkannya dengan berbagai alasan yang tidak penting. Biar anaknya tidak ketinggalan zaman lah, biar kekinian, mumpung masih muda dan alasan-alasan tidak penting lainnya.

Namun bukan berarti anak zaman sekarang harus kembali dengan pola bermain anak dulu. Di era teknologi ini orang tua harus semakin bijak. Teknologi dan pendidikan anak harus balance, maksudnya kemajuan teknologi saat ini bisa dimanfaatkan untuk pendidikan anak. Jangan menyediakan produk teknologi anak tanpa pengawasan orang tua, semisal memfasilitasi telepon genggam untuk dibawa ke sekolah. Kemungkinan besar anak-anak akan mendownload game kemudian memainkannya tanpa peduli waktu dan kecanduan. Menonton video-video yang tidak seharusnya ditonton. Nah, sebagai orang tua yang bijak harus mampu memilih produk teknologi untuk anak.

Cara menjaga anak dari dampak negatif teknologi dapat dilakukan dengan memberi pendidikan lebih dini, menceritakan hal-hal baik yang bisa dilakukan dengan produk teknologi. Pendidikan pada usia dini tidak harus dilakukan dengan pendidikan formal, orang tuapun bisa melakukannya. Alummu madrasatul ula, ibu merupakan pendidikan awal bagi seorang anak. Karena jika pendidikan terlambat diberikan, anak-anak akan sulit untuk keluar dari kenyamanan yang sedang mereka alami. Semisal anak sudah terbiasa sepulang sekolah ngegame hingga larut malam, kemudian orang tua menasehati ketika itu sudah menjadi kebiasaan, maka yang terjadi kemungkinan besar anak akan acuh dengan nasehat tersebut bahkan membangkang. Berbeda jika nasehat diberikan lebih dini.

Pengawasan memang baik untuk menjaga pergaulan anak-anak, tetapi terlalu protective juga tidak baik untuk kenyamanan seorang anak. Di atas telah dipaparkan mengenai orang tua yang membebaskan anaknya dalam bermain, nah sekarang pengawasan yang terlalu ketat tidak baik pula karena akan menghilangkan dunia anak. Euforia teknologi bisa diberikan secara bijak demi masa depan anak.

Masa depan anak yang diinginkan orang tua tentunya masa depan cemerlang. Bagaimana hal itu bisa terjadi jika orang tua tidak bijak dalam mendidik anak-anaknya. Di era teknologi akan lebih mudah dalam mendidik anak dan tentunya dampak negatif akan lebih mudah juga terjadi. Dalam pengawasan anak tidak perlu protective, berikan kebebasan bermain namun berikan batasan juga. Anak ceria akan berpengaruh ketika dia beranjak dewasa. Jadi, biarkan anak-anak tetap dalam dunianya namun tetap dalam pengawasan.

Rahasia Finlandia Terkenal sebagai Pendidikan Terbaik di Dunia

Rahasia Finlandia Terkenal sebagai Pendidikan Terbaik di Dunia
Finlandia, sebuah negara yang terletak di belahan utara bumi dengan wilayah seluas 338.000 km2 yang dihuni oleh 5,3 juta penduduk, merupakan salah satu negara industri maju dan modern dunia yang terkenal dengan tinggi dan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi dan komunikasi. Finlandia terkenal dengan pendidikan terbaik di dunia. Ini terbukti dari peringkat PISA (Program for International Student Assesment) pada tahun 2003 siswa Finlandia menduduki peringkat pertama dan meraih skor tertinggi di dunia secara konsisten. Tes yang diadakan oleh PISA menguji siswa yang berusia 15 tahunan di sekiatr 40 negara industri seluruh dunia, pengukuran tes dalam PISA yaitu keaksaraan dalam membaca, matematika, dan ilmu pengetahuan. Finlandia juga menduduki peringkat ketiga dari 65 negara peserta lainnya. Kualitas pendidikan di negara dengan ibukota Helsinki tersebut sangat luar biasa. Finlandia muncul sebagai satu-satunya negara non-Asia yang mampu menempati posisi tiga besar setelah China dan Korea Selatan.

Kurikulum pendidikan Finlandia tidak sepadat kurikulum yang diberlakukan di negara-negara lainnya, khususnya negara Asia. Anak-anak di Finlandia menghabiskan waktu lebih sedikit di sekolah dibandingkan anak-anak di negara lain. Jam istirahat sekolah juga lebih panjang, yakni 75 menit, dibandingkan dengan negara seperti Amerika yang membatasi waktu 30 menit istirahat. Mereka juga diberikan tugas yang lebih sedikit. Selain itu, anak-anak Finlandia memulai pendidikan akademik di usia 7 tahun, berbeda dengan kebanyakan negara yang memulai pendidikan akademik anak-anak di usia yang lebih muda. Prinsip kurikulum pendidikan Finlandia adalah" Less is More". Sekolah berfungsi sebagai tempat belajar dan eksplorasi potensi dimana sekolah menjadi lingkungan yang relaks dan tidak terlalu mengikat siswanya dengan jam belajar dan kapasitas tugas yang tidak terlalu membebani siswa. Di samping itu, tidak ada sistem peringkat untuk prestasi akademik dan ujian standarisasi dari tingkat sekolah dasar sampai dengan menengah pertama. Para siswa juga baru diuji dengan ujian standarisasi pada sekolah menengah tingkat akhir. Ujian ini pun bersifat optional, hanya bagi mereka yang mau melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Bagi yang tidak mengikuti ujian, tetap bisa melanjutkan ke institusi pendidikan yang berorientasi ke praktek dunia kerja.[1]

Salah satu faktor yang mendorong keberhasilan Finlandia bertransformasi menjadi negara industri maju dan modern adalah tingginya kualitas dan kompetensi sumber daya manusia (SDM) yang dimilikinya. Tingginya kualitas dan kompetensi SDM Finlandia merupakan hasil dari perjalanan panjang komitmen kuat pemerintah dan rakyat Finlandia dalam membangun dan mengembangkan sistem pendidikan nasionalnya. Pemerintah dan rakyat Finlandia menyadari bahwa komitmen kuat untuk membangun dan mengembangkan sistem pendidikan nasional merupakan kunci penentu keberhasilan negaranya untuk tetap eksis mempertahankan keberlangsungan hidupnya sebagai negara yang berpenduduk kecil, sumber daya alam yang sangat terbatas dan hidup di tengah kondisi alam yang ekstrim dan kurang bersahabat. Pembangunan negara dan bangsa Finlandia berdiri di atas pilar pendidikan dan penelitian yang berbasis inovasi dan disokong penuh oleh seluruh komponen bangsa.

Revolusi sistem pendidikan Finlandia dimulai sejak tahun 1968, ketika pemerintah memutuskan untuk menghapus sistem pendidikan berjenjang (parallel school system / PSS) dan menggantikannya dengan sistem pendidikan wajib dasar nasional 9 tahun. PSS merupakan sistem pendidikan yang mengutamakan pendidikan berjenjang bagi seluruh siswa. Sistem ini dinilai tidak efektif karena pada kenyataannya terdapat perbedaan kemampuan murid dalam menerima dan mencerna ilmu yang diberikan. Hal tersebut menimbulkan fenomena pemberian peringkat dan labelisasi ”siswa berprestasi” dan ”siswa tidak berprestasi”, serta ”sekolah favorit” dan ”sekolah tidak favorit”. Kedua fenomena tersebut menimbulkan dampak buruk terhadap mentalitas murid, guru dan institusi pendidikan. Dengan fenomena tersebut, setiap murid tidak menerima kualitas pendidikan yang merata. Ada murid yang dapat mengikuti pendidikan percepatan, dan ada murid yang kerap kali terpaksa mengulang kelas. Oleh karena itu, pemerintah Finlandia beralih menggunakan sistem pendidikan wajib dasar nasional 9 tahun, di mana seluruh anak pada usia 7-15 tahun menerima materi dan kualitas pendidikan yang sama dan seragam.

Siswa tidak lagi mengejar angka dan peringkat selama menjalani pendidikan wajib dasar 9 tahun, namun mengejar pemahaman dan penerapan ilmu yang diberikan sesuai dengan kurikulum pendidikan dasar nasional. Sistem peringkat (ranking), baik peringkat siswa maupun peringkat sekolah (sekolah favorit atau non-favorit), serta sistem evaluasi ujian nasional untuk kenaikan kelas di tiap jenjang pendidikan wajib dasar nasional 9 tahun dihapus. Pendidikan dasar difokuskan pada upaya pembentukan karakter dan kapasitas dari setiap murid. Upaya ini ditempuh pemerintah Finlandia untuk memeratakan kemampuan seluruh murid tingkat pendidikan wajib dasar. Sudah tentu, hal ini menuntut kerja sama lebih erat antara pemerintah, pihak penyelenggara pendidikan, khususnya para guru, masyarakat, dan orang tua dalam memantau perkembangan pendidikan dan pembelajaran anak murid guna memastikan bahwa tiap-tiap murid tersebut dapat mengikuti dan memahami materi pelajaran yang diberikan di jenjang pendidikan dasar. [2]

Mahasiswa dan Bahasa Indonesia

Mahasiswa dan Bahasa Indonesia
Mahasiswa tentu saja telah lulus pelajaran Bahasa Indonesia dalam Ujian Nasional dan ujian masuk perguruan tinggi atau Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Lalu untuk apa lagi mahasiswa baru belajar bahasa nasional dan negara ini di perguruan tinggi dengan bobot hanya dua satuan kredit semester (2 SKS)? Apakah ini karena amanat pasal 37 (ayat 2) Undang-undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)? Apa lagi yang harus diajarkan dosen kepada mereka? Bukankah sejak SD hingga SMA mereka sudah belajar Bahasa Indonesia dari A sampai dengan Z? Apakah ada perbedaan materi Bahasa Indonesia antara perguruan tinggi dengan sekolah-sekolah di bawahnya?

Ternyata dosen umumnya lagi-lagi mengajarkan materi kuliah Bahasa Indonesia sama dengan yang telah diberikan para guru Bahasa Indonesia di SD, Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan SMA. Para dosen kembali mengajarkan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan, dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Tidak jarang mahasiswa diperlakukan seperti mahasiswa Jurusan Bahasa Indonesia di Fakultas Sastra dan Bahasa. Seolah-olah mereka dididik menjadi calon ahli bahasa atau calon sarjana Bahasa Indonesia. Oleh karena materi yang sama telah mereka peroleh sebelumnya, maka banyak mahasiswa baru yang mengikuti kuliah Bahasa Indonesia dengan setengah hati atau merasa sangat terpaksa, demi nilai atau indeks prestasi belaka.

Mereka benar-benar merasa sangat bosan belajar bahasa perhubungan nasional ini. Setelah 12 tahun belajar Bahasa Indonesia, apakah mereka sudah mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara tertulis maupun terlisan? Ada beberapa dosen, yang tiap hari memeriksa tulisan-tulisan mahasiswa, membuktikan, ternyata sebagian besar mahasiswa, termasuk yang sudah duduk di semester VIII atau tingkat akhir, tidak mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara terlisan maupun (apalagi) secara tertulis. Ah, jangankan mahasiswa program diploma tiga (D3) atau mahasiswa program sarjana atau strata satu (S1), mahasiswa S2 dan S3 sajapun ternyata masih sangat banyak yang tidak becus berbahasa Indonesia. Padahal, sebagian besar mereka sudah berkarir sebagai dosen selama belasan, bahkan puluhan tahun.

Lihat juga karya tulis para wartawan yang sudah belasan atau puluhan tahun menulis. Tiap hari dengan mudah kita menemukan kesalahan mendasar mereka dalam berbahasa Indonesia di media massa cetak dan elektronik.

Ternyata terbukti ketidakmampuan sebagian besar mahasiswa dalam berbahasa Indonesia, dalam hal ini bahasa tulisan. Lalu apa yang mesti dikerjakan para dosen Bahasa Indonesia yang ternyata tidak semua bergelar sarjana Bahasa Indonesia?

Mahasiswa yang bukan calon sarjana/lulusan program studi bahasa, harus dilatih secara intensif berbahasa Indonesia dalam konteks program studi/jurusan mereka masing-masing. Mahasiswa Fakultas Hukum, misalnya, ketika mengerjakan tugas tiap mata kuliah hukum, harus dilatih secara intensif menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik terlisan maupun tertulis. Demikian pula mahasiswa Jurusan PAI, Matematika, Farmasi, Teknik Sipil, Psikologi Pendidikan, Geografi, dan sebagainya.

Ini tentu saja berkonsekuensi terhadap para dosen. Artinya, setiap dosen mata kuliah apapun harus mampu mendidik para mahasiswa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar dalam konteks ilmu atau program studi masing-masing. Dengan kata lain, setiap dosen harus mampu menjadi dosen Bahasa Indonesia. Selain itu para mahasiswa dapat diwajibkan memperkaya kosakata masing-masing melalui media massa cetak dan elektronik, buku-buku, dan media lain.

Tiap hari, misalnya, mahasiswa diwajibkan menambah minimal lima kata/istilah baru (baru bagi mahasiswa yang bersangkutan). Kata-kata atau istilah-istilah baru ini mereka cari atau temukan di media massa cetak dan elektronik, internet, brosur, buku-buku, dan media cetak lainnya. Dengan demikian, dalam satu semester (14 minggu) saja tiap mahasiswa memperkaya kosakatanya sebanyak 490 kata/istilah. Bila seorang mahasiswa program S1 kuliah selama delapan semester, maka selama masa belajar di perguruan tinggi ia telah memperkaya perbendaharaan katanya sebanyak 3.920 kata/istilah. Jadi, bila seseorang ketika pertama kali jadi mahasiswa kosakatanya masih miskin, misalnya hanya 3.500 kata, maka ketika menjelang tamat kosakatanya meningkat drastis, lebih 100 persen. Selain belajar dari buku-buku teks Bahasa Indonesia, mahasiswa juga harus didorong belajar Bahasa Indonesia dari buku-buku lain yang relevan. Dosen dan mahasiswa dapat pula tiap minggu mendiskusikan tulisan yang muncul rutin dalam rubrik bahasa di koran-koran harian (contohnya di Kompas tiap Jumat, di Media Indonesia dan Pikiran Rakyat tiap Sabtu) serta di majalah bulanan Intisari. Artikel-artikel opini yang berkaitan langsung dan tak langsung dengan bahasa Indonesia yang dimuat di media massa cetak pun jangan pula dilewatkan. Ini dapat didiskusikan di kelas setelah mahasiswa membuat tanggapan atau pembahasannya secara tertulis.

Bila beberapa upaya ini dapat dilaksakanakan sungguh-sungguh dan dengan senang hati oleh para mahasiswa dan dosen bahasa Indonesia, maka kita yakin para lulusan perguruan tinggi kita tidak hanya mampu dan terampil berbahasa Indonesia secara terlisan dan tertulis, tetapi juga sungguh-sungguh mencintai bahasa nasional mereka sendiri. Mereka merasa sangat bangga menggunakan bahasa negerinya sendiri sebagaimana mereka juga sangat bangga sebagai orang Indonesia.

sumber gambar: blog.djarumbeasiswaplus.org

Mahasiswa untuk Bangsa Indonesia

Mahasiswa untuk Bangsa Indonesia
Dewasa ini keadaan bangsa kita semakin carut marut. Dari mulai politik, pendidikan dan ekonomi. Mahasiswa sebagai pilar daya saing bangsa merupakan solusi untuk meredakan kekacauan yang terjadi. Mahasiswa harus mampu menghadapi tantangan global, tidak hanya mengejar nilai akademisnya saja. Pendidikan pertama bisa dikatakan saat kita di playgroup atau taman kanak-kanak, kemudian masuk ke sekolah dasar, selanjutnya SMP, SMA dan yang terakhir adalah bangku kuliah, maka mahasiswa adalah sekolah tahap akhir untuk menuju dunia kerja.

Generasi penerus untuk menghadapi tantangan global demi bangsa ini harus dipersiapkan dengan sungguh-sungguh. Sebagai mahasiswa yang bertanggung jawab akan hal tersebut tentunya berusaha untuk menuju dunia kerja yang sukses dengan cara yang benar. Semisal untuk masuk ke dalam dunia politik, menjadi pemimpin daerah, pejabat, DPR bahkan presiden, tidak dilakukan dengan cara kotor. Meskipun salah satu anggota keluarganya sudah berada dalam posisi tersebut, tetapi jika memang mahasiswa itu tidak mampu maka tidak boleh ada campur tangan kotor untuk mewujudkannya.

Mahasiswa harus mampu menghadapi tantangan yang bersifat akademis maupun non akademis, dengan cara disiplin mengikuti jam perkuliahan dan aktif dalam beberapa organisasi dalam kampus. Antara keduanya harus balance, tidak serius di akademis saja atau hanya aktif organisasi saja, karena mahasiswa memang dipersiapkan untuk melakukan kerja nyata di lingkungan masyarakat, (1) menambahi sesuatu yang kurang, kemudian (2) mengurangi jika ada hal yang berlebihan dan (3) memperbaiki hal yang rusak.

5 Dosa Besar Pembuat Presentasi Pembelajaran

5 Dosa Besar Pembuat Presentasi Pembelajaran
Metode pembelajaran aktif berbasis ICT adalah hal wajib yang harus dimiliki oleh pendidik/guru di era ini. Berbagai aspek keterampilan yang harus dikuasai pendidik sebaiknya juga sudah berbasis ICT. Anak-anak sekarang akan mudah bosan dan tidak tertarik dengan belajar karena faktor metode dan strategi yang diberikan guru. Strategi pembelajaran aktif dapat diciptakan dengan mudah jika guru memang bertekad dan peduli dengan anak didiknya.

Media pembelajaran berbasis komputer merupakan aksi nyata bagi guru yang sudah melek akan teknologi. Namun guru atau dosen yang membuat media pembelajaran berbasis komputer lebih seringnya hanya membuat media pembelajaran yang tak ubahnya makalah digital. Hal itu disebabkan karena guru atau dosen tidak menguasai kecanggihan tool yang mereka pakai. Maka mereka hanya membuat sekedarnya, bukan berbasiskan aspek-aspek media yang seharusnya. Sebagai seorang guru yang baik alangkah baiknya dalam membawakan media presentasi pembelajaran untuk memperhatikan aspek-aspek media yang seharusnya, seperti media yang digunakan harus sesuai dengan materi yang diberikan. Banyak dosa besar yang dilakukan oleh guru atau dosen dalam penggunaan presentasi media pembelajaran, 5 diantaranya dosa besar yang umum terjadi adalah:

1. Media pembelajaran tidak komunikatif dan interaktif

Media pembelajaran yang komunikatif dan interaktif merupakan salah satu model pembelajaran yang sangat penting untuk meningkatkan kemampuan belajar siswa. Pembelajaran komunikatif dan interaktif adalah pembelajaran yang merangsang siswa untuk menemukan masalah pada materi yang diberikan kemudian tertarik untuk bertanya dan bisa menemukan jawaban sendiri dari pertanyaan mereka. Menurut Faire dan Cosgrove dalam Harlen (1996: 28) tahapan model pembelajaran interaktif terdiri dari persiapan pengetahuan awal, kegiatan eksplorasi, pertanyaan siswa, penyelidikan, pengetahuan akhir dan refleksi.

Guru yang tidak mampu meningkatkan kemampuan belajar siswa dan tidak bisa menciptakan kelas yang aktif, siswa tidak ada yang bertanya dan tidak tertarik dengan pelajaran, meskipun guru tersebut telah menggunakan media dan melakukan presentasi yang sedemikan rupa, maka guru itu telah melakukan dosa besar dalam pembuatan presentasi pembelajaran.